Ada Yang Hilang..

Kepergiannya yang tiba-tiba menyisakan  tanda tanya besar. Melayang-layang dalam ingatan hingga menggelut akar belukar. Bersimbuh luka. Berbekas, tapi tak berdarah. Rumit, sulit, sakit, melihatnya pergi tanpa pamit. Jangankan sepenggal kata, sepucuk surat pun enggan untuk ia tinggalkan. Janjinya hanya omong kosong paling murahan. Ia memang betul-betul mahluk paling tega satu semesta. Membiarkanku menerka, melahirkan ketidakjelasan dalam setiap penjelasan, sunyi, sepi, dan aku benci merangkak dalam gelap. Mencari cahaya, yang entah sedang berada di rimba manalagi.

Er, tampaknya memang ada yang salah. Kita sedang tidak baik-baik saja. Ini  adalah mogok berbicara kesekianmu dan aku sebal melihatmu berlagak seperti anak kecil. Ada yang perlu diperbaiki, tidak tentangmu, tidak juga tentangku. Melainkan, tentang kita. Kita sudah melewati berkali-kali musim hujan dan kemarau. Genap empat tahun kita akan jadi sepasang paling romantis dan siap untuk kembali melewati hujan di awal bulan Desember. Masih ingatkan tentang lagu legendaris kita? Masih ingatkan tentang ritual menukar puisi tiap kali akhir tahun tiba?

Er yang dulu telah hilang, tidak lagi jadi sosok paling semangat tiap kali diajak bercerita perihal manisnya hari itu, tidak akan lagi mengajakku jalan-jalan mengitari kota sambil sesekali bertingkah aneh-aneh. Kata Er, ia rela terlihat bodoh dan memalukan asal bersamaku. Dan kini, yang tersisa hanyalah seorang Er yang hening.  Aku benci dibiarkan menebak-nebak, tidak suka melihat perubahan tanpa alasan konkret, dan sungguh aku tidak lagi mengenali Er. Ia dingin, tidak mau bercerita, dan menyebalkan.

“Apa kabar?” Aku menyaparnya. Pertanyaan paling melankolis yang membuatku nyaris menitikkan air mata. Hari ini, aku kembali menunjukkan kerapuhanku di hadapannya. Aku kalah melawan perasaanku sendiri. Ia hanya diam, tidak mau menatapku. Tidak lagi seperti Er yang dulu  selalu  menghapus air mataku sambil berjanji tidak akan ada lagi butir yang jatuh hanya karena ulahnya. Nyatanya ia ingkar janji, setiap hariku adalah hari untuk menangisinya. Menangisi kepergiannya yang beku.

“Aku pulang dulu.” Kataku sambil memberikan bingkisan bunga hasil rangkaianku sore itu. Meninggalkannya lagi untuk suatu hari kembali lagi. Tenang Er, aku akan tetap datang meskipun kau mengabaikanku.

“Ra, berhenti untuk menyalahkan takdir. Ikhlaskanlah. Tugasmu, memang butuh sabar, butuh meruntuhkan ego, dan segala bentuk penerimaan  secara utuh. Ia tidak meninggalkanmu,, ia hanya menunggumu sampai saat itu tiba.” Seseorang mendekapku hangat. Ia Ibu Er, wanita yang paling bersedih atas kepergian Er tapi tetap tabah lewat ketulusannya yang sederhana.

Hari ini, aku kembali kepergok meratapi kesedihan di pusara Er.

a (2).jpg

Leave a comment